Guru Diguyu dan Ditinggal Turu



Guru bukan lagi digugu dan Ditiru, tetapi diguyu dan ditinggal turu. Ini terlintas begitu saja dalam pikiran saya ketika melihat postingan yang marak di dunia maya.


Guru menjelaskan materi di depan kelas, sementara siswa asyik dengan ponselnya, tiduran di kursinya, bahkan bercanda dengan temannya. Begitu juga ketika melihat raut wajah “menyedihkan” seorang ibu guru dari balik jeruji lantaran mencubit siswa yang konon anaknya orang berkedudukan. Lalu, sebenarnya guru itu “siapa” sih?


Menurut Undang-Undang 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1 ayat 1).


Begitu berat dan banyaknya tuntutan yang harus dilaksanakan seorang guru. Sedang mereka bertindak dengan penuh kehati-hatian (baca: was-was), jangan sampai tindakannya justru menyeretnya ke penjara. Seorang teman pernah berkata; “sekiranya tugas guru hanya mengajar saja, alangkah mudahnya”.


Tapi bagi kami yang memilih hidup menjadi guru, tanpa dijabarkan oleh Undang-undangpun, tugas itu sudah terpatri di hati. Sederhana sekali, menjadikan anak didiknya pandai dan mengerti. Pandai membaca teks dan mengerti menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya.


Di sisi lain, melihat tingkah polah anak didik, saya miris. Pamit kepada orang tua hendak menuntut ilmu, sampai kabar ke telinga justru dituntut lawan seteru. Berita tawuran dan perkelahian remaja makin marak mengisi acara televisi, radio, bahkan koran.


Sejenak melihat ke sekeliling, pagi hingga siang yang merupakan jam sekolah, ada saja siswa berkeliaran entah berjalan kaki atau berkendara roda dua. Yang berjalan kaki, berjalan pelan di bibir trotoar, sesekali menoleh ke belakang, mungkin takut ketahuan. Yang berkendara, melaju pesat dengan kaca helm tertutup rapat.


Jika begini, masihkah mendidik hanya menjadi tugas guru? Mari melihat kembali defenisi pendidikan itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 263), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang, kelompok, kelompok orang, dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.


Menurut UU 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.


Menurut hemat penulis, tak satupun defenisi di atas yang mengkhususkan guru sebagai pendidik. Orang tua dan lingkungan masyarakat juga bisa dikatakan sebagai pendidik. Keluarga adalah madrasah atau tempat pendidikan pertama dan utama bagi anaknya dengan Orang tua sebagai pendidiknya.


Jika keluarga melakukan fungsi dan perannya dengan baik, maka layaknya rumah dengan pondasi yang kokoh, minimal tak goyah dengan berubahnya kondisi cuaca. Tapi jika yang terjadi sebaliknya, sulit rasanya mengharapkan keberhasilan pendidikan dasar. Jika kemudian orang tua melimpahkan pendidikan kepada sekolah yang notabene sebagai tempat pendidikan kedua bagi anak, maka guru haruslah berjuang ekstra keras.


Bagaimana tidak, sekolah hanyalah tempat berkumpulnya anak-anak yang butuh pendidikan, dengan berbagai tuntutan keberhasilan dari orang tua, dan hanya memiliki waktu kurang lebih 7 jam untuk mewujudkan semua itu? Adalah hal yang mustahil. Sementara lingkungan begitu kejam menerima kehadiran mereka, warnet bebas beroperasi di jam-jam sekolah, kafe pun demikian.


Tak berarti mereka harus buka tutup menyesuaikan jam sekolah, tapi setidaknya melakukan penyortiran terhadap pelanggannya. Jika menggunakan pakaian sekolah, baiknya disuruh kembali ke sekolahnya atau menghubungi Satpol PP. Lha ini, yang penting laku.


Saya mengapresiasi adanya satpol PP yang mulai beroperasi beberapa waktu lalu, menjaring siswa dan warga sekolah yang meninggalkan wilayah sekolah, guna memberikan pemahaman. Semoga bisa berjalan seterusnya.


Sekarang kita melirik peran media, masih miris dan sedih rasanya, ketika beberapa waktu lalu marak di media sosial foto remaja belasan dengan bangga memamerkan kemesraan dengan caption “sudah seperti *** dan *** (pemeran utama sebuah sinetron), tinggal minta ninja ke mama”. Inikah yang dinamakan hiburan di negeri kita?


Sinetron yang begitu vulgar tak mendidik, bebas tayang di jam-jam krusial anak belajar. Tidak heran ketika muncul meme mengatakan: “Aktris dibayar mahal untuk merusak moral bangsa, Guru dibayar murah untuk membangun moral bangsa”. Anak bau kencur sudah pintar mengatakan cinta. Apalagi generasi setingkat anak SMA?


Maaf, mungkin KPI perlu bekerja lebih keras lagi. Sekarang, penulis kembali bertanya. Mendidik generasi bangsa, tugas siapa?


Orang tua, guru, dan seluruh elemen masyarakat, jika semua bersinergi, berangkulan, dan bekerja sama, saya yakin soal mendidik generasi bukanlah hal sulit. Kembalikan fungsi dan peran keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak. Keluarga yang harmonis kemungkinan menghasilkan anak bermutu lebih banyak dibanding keluarga kurang harmonis.


Orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, guru mendidik sesuai kurikulum yang berlaku, masyarakat ikut mengawasi. Ketika anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan sekolah, orang tua hendaknya bekerja sama menyelesaikannya, bukannya malah membela tanpa babibu. Komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah harus selalu terjalin, sehingga tidak terjadi miss komunikasi.


Sebelum mendaftarkan anak ke lembaga pendidikan, sebaiknya orang tua memahami tentang pendidik, guru, dan pendidikan itu sendiri. Lalu kembalikan fungsi dan peran guru sebagaimana mestinya agar tetap digugu dan ditiru.


Kepada pemerhati pendidikan, harap dipertimbangkan ketimpangan undang-undang yang hanya melindungi hak-hak anak. Undang-undang perlindungan guru adalah secuil harapan kami, sehingga tidak lagi was-was dalam mendidik. Sebab bukanlah kekerasan yang ingin kami tonjolkan, tapi bagian reward and punishment yang merupakan bagian penting dari pendidikan. (**)

sumber


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Guru Diguyu dan Ditinggal Turu "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel