Guru yang 'Tak Nyambung'


Kemajuan teknologi yang begitu pesat merupakan fakta yang nyaris disangkali. Lebih lagi, kemajuan yang di era sebelumnya lebih terpisah, kini nyaris hadir secara bersamaan.


Teknologi informasi menghadirkan semuanya sebagai kenyataan yang mencengangkan. Lingkup sosial lalu menjadi penyaji informasi sekaligus menawarkan aneka alternatif kerap menarik.


Apakah proses itu juga terjadi dalam pendidikan? Apakah guru sanggup menengahi realitas sosial dan pembelajaran dalam kelas? Apakah hal yang diajarkan `nyambung' dengan kebutuhan nyata?


Evaluasi Diri


Apabila konsep pendidikan `disederhanakan' dalam tiga pokok pikiran, maka bisa dirangkum dalam pemahaman konsep, metodologi pengajaran, dan evaluasi. Guru zaman now mestinya terus memantaskan diri lewat pemahaman konsep.


Kesadaran membekali diri melalui bacaan (yang dikenal dengan literasi) mestinya bukan hal eksternal. Guru selalu haus untuk menyegarkan diri dengan bacaan. Ia terus menghidupkan otaknya dengan informasi yang membuat konsep pembelajarannya selalu baru.


Konsep yang ada merupakan rangkuman akan inti pembelajaran (standar kompetensi) dan perkembangan yang terjadi. Setelahnya, konsep ini yang `ditawarkan' melalui metode pengajaran yang mengena.


Disebut mengena karena metode terbaik dalam mengajar adalah sebuah jawaban atas kebutuhan siswa. Sebuah metode disebut tepat ketika sesuai dengan kebutuhan siswa. Bila metode mengajar diibaratkan dengan memancing ikan maka umpan yang diberikan harus disukai oleh ikan bukan yang digandrungi sang pemancing.


Pada akhirnya pencapaian siswa menjadi evaluasi atas konsep dan metodologi. Hasil yang dicapai (apakah sedikit, setengah, atau sebagian besar malah keberhasilan semua menjadi ukuran apakah konsep itu telah diterapkan secara tepat dalam metode mengajar yang mengena).


Proses evaluasi ini akan terus diupayakan karena guru yang refleksif akan terus mengamati, mengevaluasi, dan menghasilkan karya-karya baru. Selain itu, sebuah evaluasi akan tampak juga melalui karya refleksif dalam bentuk tulisan.


Guru menghasilkan karya sederhana yang ada dalam jangkauannya. Ia menghasilkan metode baru, alat peraga tepat guna yang bukan saja murah tetapi lahir dari penemuan sederhana.


Proses evaluasi yang berimbas positif kerap jauh dari harapan. Tidak sedikit pelatihan dilakukan dengan ilmu yang begitu mengagumkan dan metode penelitian yang tak jarang rumit.


Sayangnya, apa yang diberikan kerap dilakukan secara deduktif. Aneka teori dari atas coba `dipaksakan' ke bawah. Akibatnya, guru merasa apa yang diberikan terlampau jauh dari harapan.


Tak heran, banyak guru akhirnya menyerah dan `parkir' saja di golongan IVA karena merasa melompat ke jenjang berikut hanya ilusi. Atau kalau terpaksa, cara pintas dengan meminta orang lain `memfasilitasinya'.


Keterampilan Utama


Kevakuman salah satu dari tiga komponen di atas menyebabkan pendidikan menjadi momok. Murid merasa guru tidak menjawabi kebutuhan mereka. Di sana terjadi diskonektivitas yang menyebabkan kegelisahan.


Untuk dapat keluar dari kemelut dan menjadikan guru lebih `nyambung', maka dibutuhkan empat hal yang menjadi kecakapan yang dibutuhkan abad 21. Pertama, perlu menanamkan daya kritis.


Aneka invasi informasi mestinya diimbangi dengan sikap kritis guru. Ia mampu memberikan kerangka berpikir kepada siswa agar kini apalagi kelak, mereka sanggup mengkritisi aneka informasi.


Dalam kenyataan, kerap guru begitu terlibat dalam aneka gosip. Ia bukannya mencerdaskan masyarakat, tetapi terlibat dalam berita hoaks dengan sumber berita yang dipertanyakan.


Ruang guru bukan dipenuhi persaingan dalam prestasi akademik tetapi pada informasi murahan yang diterima begitu saja tanpa seleksi. Semestinya guru selalu menganalisis masalah secara matang, meneropong dari berbagai sudut dan memberikan jalan keluar sebagai pencerahan dan solusi.


Kedua, butuh keterampilan komunikasi.Guru hebat tidak saja mengetahui banyak hal tetapi mampu menjembatani komunikasi dengan para murid. Ia mengevaluasi aneka `feed back' siswa demi memperbaiki lagi agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik.


Komunikasi dalam pendidikan dipahami secara sederhana sebagai penemuan metode pengajaran yang tepat sasar. Metode yang ditemukan dari hasil pergulatan guru dengan siswa dan bukan sekadar beberapa `metode' yang diperoleh dari hasil `pelatihan'.


Di sini tugas yang diharapkan dari para `pengawas' sekolah. Mereka bukan berkutat pada hal administratif tetapi lebih jauh menguggah daya kreativitas dan inovasi.


Ketiga, butuh kolaborasi. Pendidikan tidak bisa dipahami sebagai aksi monopoli guru. Perkembangan teknologi telah menghadirkan kesadaran bahwa tidak ada lagi orang yang hanya mengajar dan yang lain hanya secara pasif menerima.


Kemudahan teknologi telah menyadarkan bahwa di era teknologi seperti ini, semua mengajar semua. Di sana peran guru dan murid bisa berubah segera peran karena yang sebelumnya disapa murid bisa saja menjadi guru oleh kelebihan yang justru ia peroleh di luar ruang kelas.


Kolaborasi juga dipahami dengan pelibatan banyak tokoh profesional untuk bisa `masuk kelas'. Mereka tidak saja hadir mensharingkan informasi tetapi membangkitkan motivasi. Hal itu kemudian didukung dengan aneka kunjungan belajar ke tempat kerja yang membuat siswa sadar akan pembelajaran di sekolah dan kebutuhan riil di lapangan.


Pada akhirnya pengajaran disebut sukses ketika diukur dari kreativitas yang dihasilkan. Siswa yang sanggup berkomunikasi, berkolaborasi, dan menghadirkan diri sebagai pribadi kritis, adalah produk kreatif yang bisa membuktikan kesuksesan dalam pengajaran.


Produk dalam bentuk tulisan, karya tangan yang bisa dilihat, maupun keterampilan komunikatif untuk menjelaskan proses yang telah dilewati, merupakan bukti bahwa apa yang diajarkan, `nyambung' dengan realitas di lapangan.


Pada tataran ini, pendidikan menjadi jawaban dan kian digandrungi siswa dalam proses belajar-mengajar. Sebaliknya, ketika guru masih terus berkutat pada konsep usang, jauh dari penguasaan konsep pengajaran dan minim pembekalan pengetahuan secara kritis, maka penurunan kualitas siswa kini dan masyarakat nanti akan menjadi taruhan.


Kita tentu tidak mengaharapkan hal itu. Karenanya, kita terus mengupayakan agar pendidikan tepat sadar oleh karena guru yang selalu `nyambung' dengan kebutuhan. *


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Guru yang 'Tak Nyambung'"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel